![]() |
Gus Usman ( Pengasuh Pesantren Tani Indonesia ) sedang memegang hasil bumi dari Pesantrennya |
Di tengah riuh rendah stigma miring yang menerpa wajah teduh Pondok Pesantren, terbingkai dalam narasi sempit di layar kaca, sebuah jawaban lantang justru menggema sunyi dari lereng selatan Jawa Timur. Di sudut bumi Bantur, Kabupaten Malang, sebuah bahtera ilmu tak hanya berlayar di lautan kitab, tapi menancapkan jangkarnya jauh ke dalam tanah yang subur.
Inilah "Pesantren Tani Indonesia". Sebuah nama yang bukan sekadar label, melainkan sebuah manifesto hidup.
Di Bantur, Malang, Pesantren Tani Indonesia (PTI) berdiri sebagai antitesis dari anggapan bahwa pesantren adalah menara gading yang terisolasi. Ini adalah kawah candradimuka di mana para santri tidak hanya belajar mengeja ayat-ayat Tuhan, tetapi juga membaca tanda-tanda zaman lewat cangkul dan ayunan sabit.
Mereka adalah potret nyata dari filosofi "hidup dan menghidupi".
PTI memilih jalan kemandirian yang terjal namun mulia. Dapur pesantren mengepul dari peluh yang menetes di ladang sendiri.
Puluhan santri hidup dan terhidupi kebutuhannya dari hasil bumi yang mereka tanam dengan jemari sendiri. Lahan-lahan pesantren yang digarap adalah kitab terbuka tentang ilmu ikhtiar. Lebih dari itu, harmoni alam terdengar dari kandang-kandang peternakan kambing mereka. daging, dan pupuknya menjadi siklus ekonomi yang menghidupi dan menyuburkan, membuktikan bahwa spiritualitas dan agrobisnis dapat berdansa dalam irama yang sama.
Ini bukan sekadar cerita tentang perut yang kenyang. Ini adalah jawaban telak terhadap framing negatif. Ketika pesantren dicitrakan sebagai beban atau entitas eksklusif, PTI menunjukkan wajah sebaliknya: pesantren sebagai solusi ketahanan pangan.
Mereka tidak hanya mencetak penerus ulama, tapi juga pejuang pangan. Mereka adalah bukti bahwa lembaga pendidikan berbasis agama mampu menjadi benteng ekonomi umat, membebaskan diri dari belenggu ketergantungan.
Kini, Pesantren Tani Indonesia yang mana juga menjadi anggota OPOP ( One Pesantren One Produk ) dan juga Jaringan Kyai Santri Nasional (JKSN) tengah merajut mimpi besar untuk negeri. Bekerja sama erat dengan kelompok-kelompok tani masyarakat sekitar, mereka sedang berjuang di garis depan untuk satu tujuan: Menciptakan Swasembada Gula untuk Indonesia, dimulai dari tapal batas Jawa Timur.
Mereka menyatukan visi, mengolah lahan, dan berbagi teknologi, Ini adalah jihad ekonomi dalam arti sebenarnya; sebuah kolaborasi sakral antara kaum bersarung dan petani berdasi lumpur.
Saat ini, ketika narasi negatif coba dibangun, tengoklah ke Bantur. Di sana, di Pesantren Tani Indonesia, para santri sedang membuktikan bahwa iman yang tertanam di hati, paling subur ketika ia berbuah di bumi pertiwi.
Mereka tidak punya waktu untuk membalas stigma dengan kata-kata; mereka menjawabnya dengan karya nyata dengan swasembada.
Maka, jangan pernah malu menjadi santri. Dan jangan pernah ragu untuk berbangga menjadi Santri Tani.
Karena dari Merekalah, dari tangan-tangan yang tak takut kotor oleh lumpur namun hatinya bersih oleh wudhu, Indonesia akan berdaulat, mandiri, dan sejahtera.
Selamat menyongsong Hari Santri. Salam hangat dari PTI, yang berjuang di garda terdepan ketahanan pangan.
Pesantren Tani Indonesia Iman di Hati, Cangkul di Tangan, Kedaulatan Pangan di Depan Mata.
Komentar0